Menu

Mode Gelap
 

Headline · 30 Agu 2024 10:39 WIB · Waktu Baca

Ganjar; Politik Machiavellian Gunakan Penegak Hukum Jadi Alat Pembuat Rasa Takut


					Ganjar; Politik Machiavellian Gunakan Penegak Hukum Jadi Alat Pembuat Rasa Takut Perbesar

YOGYAKARTA – Politik Machiavellian sepertinya sedang terjadi akhir-akhir ini. Rasa takut sengaja diciptakan untuk sebagai upaya mengendalikan rakyat dan musuh demi melanggengkan kekuasaan.

Hal itu disampaikan politisi PDIP Ganjar di hadapan ribuan mahasiswa UGM saat acara pelepasan wisuda di Gedung Graha Saba, Yogyakarta, Kamis (29/8).

“Ajaran politik Machiavellian adalah menciptakan rasa takut untuk mengendalikan rakyat dan musuh. Kekerasan merupakan cara efektif untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan,” ucapnya.

Aparat penegak hukum digunakan sebagai alat kekerasan negara. Karena posisinya sebagai penjaga ketertiban, keamanan dan anti rasuah, aparat penegak hukum dimaksimalkan untuk menciptakan rasa takut itu.

“Dengan dalih menjaga ketertiban dan menegakkan hukum, aparat bisa menundukkan siapa saja. Dulu zaman orde baru, orang ditakuti dengan dituduh subversi atau PKI. Kalau sekarang (menakutinya) dengan kasus,” tegasnya.

Penerapan politik Machiavellian oleh penguasa saat ini dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu yang paling fenomenal adalah penerapan politik sandra (soft violence).

Pada elit-elit politik, penguasa menciptakan rasa takut dengan cara memberikan ancaman untuk dikasuskan. “Kalau ada elit yang tidak patuh, mereka diancam dikasuskan, ditersangkakan bahkan dipidanakan,” ucapnya.

Hal ini juga terjadi di kelompok pengusaha. Mereka yang tidak patuh pada keinginan penguasa, diancam akan dicabut izinnya, tidak mendapat proyek atau dikriminalisasi. Sementara di kalangan kepala desa, mereka juga dibungkam dengan ancaman dikasuskan, ditersangkakan dan dipidanakan.

“Kaum profesional, buruh, aktivis dan mahasiswa juga diancam. Mereka dikriminalisasi, didokzing buzzer, dimanipulasi isu oleh leader opinion dan lainnya,” katanya.

Untuk memuluskan aksinya, penguasa juga menggunakan buzzer untuk memproduksi dan menyebarkan konten puja-puji. Bahkan mereka membayar mahal para buzzer untuk menyerang pengkritik dan lawan politik.

Sementara untuk masyarakat kecil, mereka dijadikan objek politik dan dianggap sebagai komoditas suara yang bernilai tinggi saat kontestasi elektoral. Cara yang dilakukan adalah dengan rasionalisasi politik uang.

“Jual beli suara jelang pemilihan masif dilakukan. Selain itu, penguasa dengan mudah mengguyur masyarakat dengan bantuan sosial (bansos) dengan narasi kebaikan penguasa, bukan kewajiban negara,” paparnya.

Ganjar mengingatkan pentingnya kontrol sosial untuk mengatasi problem ini. Para akademisi harus bersuara keras, masyarakat sipil mengkonsolidasikan diri, kaum buruh, mahasiswa ikut mengawal perjalanan demokrasi di Indonesia.

“Karena nasihat Machiavelli, Rasa takut yang efektif adalah yang diimbangi dengan rasa hormat; bukan rasa takut yang menimbulkan kebencian. Sebab, kebencian adalah sumber pemberontakan,” pungkasnya.

Artikel ini telah dibaca 7 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

Unkartur Gandeng Semarang Zoo, Mahasiswa Dapat Kuliah Praktisi dan Program Magang tentang Satwa

11 September 2025 - 08:39 WIB

PMI dan ICRC Gelar Pelatihan RFL, Perkuat Kapasitas Relawan di Daerah Rawan Bencana dan Migrasi

11 September 2025 - 08:20 WIB

Gebyar Bumiayu Fair 2025 Berakhir Meriah, Jadi Ajang Silaturahmi dan Kebangkitan UMKM

11 September 2025 - 08:11 WIB

Wagub Jateng Apresiasi Komunitas Blok GM, Angkat Nuansa Nostalgia Era 90-an

11 September 2025 - 07:36 WIB

PPKHI Jawa Tengah Resmi Kukuhkan 28 Advokat Baru Periode 2025

11 September 2025 - 07:28 WIB

Trending di Headline