SEMARANG, Kabarjateng.id – Pada Kamis (30/5/2024) siang, bertempat di depan Gedung DPRD Jateng, Aliansi Jurnalis Jawa Tengah, bersama Masyarakat Sipil dan Aksi Kamisan Semarang, menolak perubahan Undang-Undang Penyiaran yang dinilai akan membawa jurnalisme Indonesia menuju era kelam. Perubahan ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan mendapat perhatian luas.
Salah satu elemen penting dalam amandemen ini adalah Standar Isi Siaran (SIS), yang mencakup pembatasan, larangan, dan kewajiban penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Sebagaimana tercantum dalam rancangan undang-undang tanggal 27 Maret 2024, perubahan UU Penyiaran ini secara signifikan membatasi aktivitas pers dan kebebasan berekspresi secara umum.
Negara, melalui pemerintah, berencana untuk melakukan kontrol berlebihan terhadap pergerakan warganya. Hal ini tidak hanya melanggar kebebasan pers tetapi juga hak masyarakat atas informasi.
Golongan pelanggaran ini mengkhianati semangat demokrasi yang dicapai melalui UU No. 40 tahun 1999 terkait jurnalisme. Rancangan undang-undang ini melindungi pekerjaan jurnalistik dan menjamin penghormatan terhadap hak publik atas informasi.
Pasal yang berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak masyarakat atas akses informasi terdapat pada Pasal 50B ayat (2), yang melarang penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif, konten yang memperlihatkan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender, serta konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Aliansi Jurnalis Jawa Tengah, Masyarakat Sipil, dan Aksi Kamisan Semarang memberikan catatan penting mengenai perubahan UU Penyiaran:
1. Pelarangan siaran pers eksklusif menunjukkan keengganan pemerintah dalam memperbaiki penyelenggaraan negara. Alih-alih menggunakan jurnalisme investigatif sebagai alat pengecekan dan penyeimbang, pemerintah memilih menutup saluran informasi tersebut.
2. Pelarangan konten yang menggambarkan perilaku LGBTQ+ merupakan bentuk diskriminasi yang mengurangi ruang berekspresi dan melanggengkan budaya non-inklusi dalam jurnalisme.
3. Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara berlebihan melalui pasal-pasal represi terhadap demokrasi dengan dalih perlindungan dari penghinaan dan pencemaran nama baik. Keberadaan pasal elastis ini justru memperluas ruang kriminalisasi bagi jurnalis dan masyarakat luas.
4. Pemerintah berupaya mengurangi independensi Dewan Pers dan berjalannya UU Pers. Pasal 8A huruf q serta 42 ayat (1) dan (2) dalam rancangan revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih kewenangan KPI dan Dewan Pers.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Aris Mulyawan, mengkritik kewenangan KPI dalam melakukan sensor dan pembredelan konten di media sosial yang mengancam kebebasan konten kreator. Ia mempertanyakan mengapa poin kabar bohong dan pencemaran nama baik kembali masuk dalam RUU Penyiaran setelah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah, Amir Machmud NS, menegaskan bahwa berita investigasi merupakan bagian dari kemerdekaan pers dan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, sehingga tidak boleh dihalangi.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Tengah, Teguh Hadi Prayitno, menekankan bahwa beberapa pasal dalam RUU Penyiaran dapat mengancam kebebasan pers dan berekspresi. Dia khawatir jika RUU ini disahkan, pemerintah bisa mengendalikan ruang gerak warga negara dan mengkhianati semangat demokrasi.
Oleh karena itu, mereka mendesak agar pembahasan RUU Penyiaran dilakukan ulang dengan melibatkan Dewan Pers dan organisasi-organisasi pers yang sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi.
Berdasarkan permasalahan di atas, Aliansi Jurnalis Jawa Tengah, Koalisi Masyarakat Sipil, dan Aksi Kamisan Semarang menyatakan sikap untuk menolak RUU Penyiaran.
Mereka mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang dinilai cacat prosedur dan merugikan publik, serta memastikan partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan revisi UU Penyiaran. Mereka juga menekankan pentingnya menggunakan UU Pers sebagai acuan untuk menghindari tumpang tindih regulasi terkait kemerdekaan pers. (day)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.