SALATIGA, Kabarjateng.id – Puluhan warga Papua mendatangi rumah sekaligus kantor Nicholas Nyoto Prasetyo, bos tambang dan pemilik perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN), di Jalan Merdeka Selatan Nomor 54, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, pada Senin (24/6/2024) sore.
Kedatangan mereka terkait masalah kerja sama pengelolaan lahan tambang emas antara pemilik lahan dan investor asal Salatiga tersebut.

Didampingi tim kuasa hukum, anak pemilik lahan bersama warga membawa sejumlah spanduk dan poster yang menuntut pertanggungjawaban Nicholas atas kerusakan hutan adat di Kampung Sawe Suma, Papua.
Kuasa hukum pemilik lahan, Alvares Guarino, menjelaskan bahwa kedatangan warga Papua ke rumah investor tambang emas asal Salatiga itu bertujuan meminta pertanggungjawaban atas hutan adat yang telah dirusak.
“Pada hari ini kami melalui permintaan oleh pemilik lahan, sebelumnya telah berkomunikasi dengan ibu Kapolres Salatiga melalui pak Kasat Intel untuk bertemu dengan beliau. Namun demikian, permintaan kami itu tidak membuahkan hasil. Maka dalam rangka untuk terus memperjuangkan haknya mereka, warga datang ke sini untuk menuntut keadilan atas lahan, tanah hutan yang sudah dibabat habis yang kurang lebih jumlahnya 400 x 30 meter persegi,” ucap Alvares.
Alvares menambahkan, kedatangan warga Papua ini sebenarnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Namun, kerusakan hutan sudah berdampak pada hilangnya mata pencarian warga di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Papua.
“Pertemuan-pertemuan kemarin pun hasilnya justru tidak sesuai dengan keinginan permintaan daripada pemilik lahan. Lucunya, pihak pengacara sebelah itu menyarankan untuk mengajukan upaya hukum. Tapi kita sendiri paham, kalau upaya hukum itu jalannya 3 sampai 4 tahun baru ada putusan bersifat inkrah,” jelasnya.
Ia berharap konflik segera diselesaikan secara kekeluargaan. Jika upaya ini gagal, pihaknya berencana mengadukan masalah ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
“Sekarang hutan sudah dibabat. Kalau harus tunggu 3 hingga 4 tahun kemudian baru ada putusan, lantas bagaimana dengan hutan yang menurut informasi dari warga di sana sering terjadi banjir dan longsor. Potensi itu masih terus terjadi. Oleh karena itu, untuk efektivitas penyelesaian, warga datang ini menuntut keadilan,” ucap Alvares.
Anak pemilik lahan yang juga anak kepala suku Kampung Sawe Suma, Barnabas Jasa, menyampaikan bahwa kedatangan ke Kota Salatiga adalah untuk meminta keadilan serta kejelasan dari investor tambang atas rusaknya hutan adat yang dimiliki keluarganya.
“Saya datang tujuan cuma satu, yaitu menuntut keadilan. Hutan saya sudah dibongkar, tapi perusahaan tidak bertanggung jawab. Mereka hanya datang, membongkar, dan kemudian menghilang. Selama empat bulan kami hanya diberikan janji-janji. Maka dari itu, saya datang ke sini untuk meminta keadilan dari Pak Pri dan Pak Niko agar bertanggung jawab atas hutan yang sudah dibongkar,” ucap Abbas, sapaan akrabnya, kepada sejumlah wartawan, Senin sore.
Ia menyebut, saat ini hutan adat yang telah dibabat memiliki luas sekitar 400 x 30 meter persegi. Atas kerusakan tersebut, pihaknya meminta kompensasi sebesar Rp20 miliar. Jika uang itu tidak diberikan, ia meminta agar perusahaan kembali menanam pohon dan mengembalikan hutan seperti sedia kala.
“Saya datang dari jauh, dari Papua, untuk meminta Pak Nicho menyelesaikan masalah ini sekarang. Saya tidak akan pergi dari tempat ini, dan saya tidak memberikan banyak waktu. Saya minta waktu hari ini atau besok untuk menyelesaikannya,” tegas Abbas.
Jika permintaan tersebut tidak dipenuhi, Abbas pun meminta Nicholas Nyoto Prasetyo untuk datang ke Papua langsung guna memperbaiki hutan adat yang telah rusak. (Irsyad / Kabarjateng.id)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.