JAWA TENGAH, Kabarjateng.id – Pilkada 2024 di Indonesia sedang berlangsung dengan penuh ketegangan dan tantangan besar. Salah satu isu yang mencuat adalah pelanggaran netralitas oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Kepala Desa (Kades).
Pelanggaran ini bukan hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga ancaman serius terhadap integritas demokrasi kita.
Ketika pejabat publik yang seharusnya netral dalam proses politik justru terlibat mendukung calon tertentu, kepercayaan publik terhadap sistem pemilu terguncang. Ini adalah pelanggaran yang tak boleh dibiarkan begitu saja.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dengan tegas mengatur bahwa ASN harus bersikap netral dalam segala hal yang berkaitan dengan politik praktis.
Netralitas ini menjadi syarat mutlak untuk memastikan ASN dapat menjalankan tugasnya tanpa pengaruh atau tekanan politik.
Begitu pula dengan Kepala Desa, yang menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dilarang untuk terlibat dalam politik praktis.
Pelanggaran terhadap kewajiban ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar negara kita: negara yang demokratis dan bebas dari campur tangan kekuasaan politik.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran netralitas ini marak terjadi.
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, misalnya, mencatat setidaknya 40 kasus pelanggaran yang terkait dengan netralitas ASN dan Kades.
Jumlah ini tentu tidak sedikit dan menjadi sinyal bahaya bagi demokrasi di Jawa Tengah.
Di antara 40 kasus tersebut, sebagian besar melibatkan keterlibatan ASN dan Kades dalam mendukung calon tertentu dalam Pilkada 2024, baik dengan cara menghadiri kampanye, memasang alat peraga di fasilitas pemerintahan, hingga berfoto dengan calon kepala daerah.
Semua ini jelas melanggar ketentuan hukum dan merusak asas persaingan yang adil. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu daerah saja.
Jawa Tengah tercatat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi dalam pelanggaran Pilkada 2024.
Bawaslu mencatat Boyolali sebagai daerah dengan jumlah pelanggaran terbanyak, dengan 10 kasus, Kudus 9 kasus, diikuti oleh Kota Semarang dan Banyumas dengan 6 kasus masing-masing.
Ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap netralitas ASN dan Kades tidak terbatas pada satu wilayah atau satu periode waktu saja. Pelanggaran ini adalah masalah sistemik yang perlu diselesaikan dengan serius.
Mengapa pelanggaran netralitas ini terjadi? Menurut Firman W. Lumban Gaol dan Para ahli menyatakan bahwa akar masalahnya terletak pada pengaruh politik yang kuat di tingkat lokal.
Kepala Desa dan ASN sering kali merasa tertekan untuk mendukung calon tertentu karena berbagai faktor, seperti ancaman kehilangan jabatan, tekanan dari partai politik, atau bahkan janji untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Di beberapa daerah, calon kepala daerah atau pihak-pihak yang berkuasa bahkan secara langsung memberikan instruksi atau iming-iming untuk melibatkan pejabat desa atau ASN dalam kampanye mereka dalam Pilkada 2024.
Situasi ini sangat berbahaya bagi proses demokrasi kita. Ketika pejabat publik menggunakan posisinya untuk mendukung calon tertentu, pemilih akan merasa bahwa pilihan mereka tidak lagi bebas.
Pemilih yang seharusnya memilih berdasarkan visi dan misi calon kepala daerah, justru dihadapkan pada situasi di mana pilihan mereka terpengaruh oleh tekanan dari kekuasaan yang ada.
Ini merusak prinsip dasar pemilu yang bebas dan adil, yang harus menjadi fondasi dari sistem demokrasi kita.
Dampak dari pelanggaran ini sangat besar. Demokrasi yang sehat memerlukan kompetisi yang adil dan tidak terdistorsi oleh kekuasaan politik.
Ketika ASN dan Kades terlibat dalam mendukung calon tertentu, mereka menciptakan ketidaksetaraan di antara calon-calon lainnya.
Ini tidak hanya merugikan calon yang tidak didukung, tetapi juga mengurangi kredibilitas Pilkada itu sendiri.
Jika masyarakat merasa bahwa Pilkada tidak berlangsung secara adil, mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemilu dan mungkin akan enggan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Tidak hanya itu, pelanggaran netralitas ini juga dapat memicu konflik sosial di masyarakat.
Ketika ASN atau Kades mendukung calon tertentu, mereka dapat menimbulkan ketegangan di antara warga yang memiliki preferensi politik berbeda.
Ini bisa memperburuk polarisasi sosial yang sudah ada dan menciptakan atmosfer ketegangan yang merusak harmoni dalam masyarakat, Hilangnya Moralitas Politik, Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengarah pada disintegrasi sosial yang lebih besar.
Dalam konteks ini, peran tokoh politik seperti Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto juga patut menjadi perhatian.
Setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Presiden, Jokowi pulang ke Solo dan hanya beberapa hari kemudian bertemu dengan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Luthfi – Taj Yasin.
Kemudian, Jokowi juga terlihat aktif terlibat dalam kampanye untuk pasangan calon tersebut di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Tengah.
Aksi ini menimbulkan pertanyaan mengenai etika politik seorang mantan Presiden yang semestinya menjaga posisi netral, tanpa berpihak pada calon tertentu setelah masa jabatannya berakhir.
Pendekatan etika politik mengharuskan para pejabat untuk menjaga jarak dari politik praktis agar proses demokrasi tetap berlangsung tanpa pengaruh yang tidak sah.
Sementara itu, pernyataan dukungan Presiden Prabowo Subianto terhadap calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Luthfi – Taj Yasin dan Calon tertentu juga mengundang pertanyaan tentang peran seorang Presiden sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai seorang pemimpin negara, apakah Prabowo sebagai Presiden harus bersikap netral dan menjadi Presiden untuk semua, ataukah hanya bagi mereka yang memilihnya dan partai koalisinya? Hal ini merujuk pada prinsip etika politik yang mengharuskan pemimpin untuk mengutamakan kepentingan negara secara keseluruhan, bukan hanya untuk kelompok atau pihak tertentu.
Menurut Dr. Siti Zuhro, seorang ahli politik dan pengamat dari LIPI, langkah Jokowi yang terlibat dalam kampanye politik setelah purna tugasnya bisa dianggap sebagai “pelanggaran etika politik” karena dapat mempengaruhi objektivitas dan netralitas demokrasi.
Dr. Zuhro menegaskan bahwa meskipun Jokowi tidak lagi menjabat, ia tetap memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat, dan keterlibatannya dalam politik praktis bisa menurunkan kredibilitas sistem demokrasi Indonesia.
Sementara itu, mengenai Prabowo Subianto, yang baru-baru ini memberikan pidato dukungan kepada calon tertentu, ada pendapat bahwa sebagai Presiden, Prabowo seharusnya dapat menjaga jarak dari politik praktis dan memastikan bahwa kepemimpinannya berlaku untuk semua rakyat Indonesia, tanpa memandang pilihannya pada pemilu sebelumnya.
Prof. Yudi Latif, seorang pakar etika politik, menyatakan bahwa Presiden harus mampu memimpin dengan menjunjung tinggi prinsip inklusivitas, yaitu menjadi Presiden untuk semua rakyat, tidak hanya bagi mereka yang memilihnya.
“Presiden harus memimpin dengan memberi contoh bahwa politik negara bukanlah politik identitas atau kelompok tertentu”.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita semua menyadari bahwa pelanggaran netralitas Pilkada adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih.
Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu harus terus memperkuat pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran semacam ini.
Namun, peran masyarakat juga sangat penting dalam menjaga agar Pilkada tetap berjalan dengan jujur dan adil.
Masyarakat harus berani melaporkan setiap pelanggaran yang mereka temui, agar proses demokrasi dapat tetap berjalan dengan baik.
Pelanggaran netralitas dalam Pilkada 2024 adalah ancaman besar bagi kualitas demokrasi di Indonesia.
Kita tidak bisa membiarkan pelanggaran ini terus terjadi tanpa ada tindakan tegas. Jika kita ingin menjaga agar demokrasi kita tetap sehat, maka kita harus menegakkan hukum secara adil, mengawasi setiap tindakan pejabat publik dengan ketat, dan memastikan bahwa setiap pemilih dapat memilih dengan bebas tanpa tekanan.
Pelanggaran netralitas bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal moralitas dan etika dalam berdemokrasi.
Kita harus melindungi hak setiap individu untuk memilih dan memastikan bahwa Pilkada benar-benar menjadi ajang yang adil, transparan, dan bebas dari pengaruh politik yang tidak sah.
Oleh : Bung Kafi
Penulis Alumni Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Aktivis NU, dan Juga Kader Partai PDI Perjuangan
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.