SEMARANG, Kabarjateng.id – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Pemerintah Kota Semarang kembali menuai perhatian publik. Kali ini, temuan buah salak yang membusuk dalam salah satu paket MBG untuk siswa sekolah menjadi pemicunya.
Menanggapi hal tersebut, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Semarang menjelaskan posisi mereka dalam program tersebut.

Kepala Disdik, Bambang Pramusinto, menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat langsung dalam pendistribusian ataupun pengawasan teknis bahan makanan MBG.
“Kami tidak memiliki kewenangan formal. Peran kami hanya sebatas koordinasi dan pendampingan ringan, tidak sampai pada pelaksanaan atau pengawasan penuh,” ujar Bambang kepada wartawan, Minggu (20/4).
Meskipun demikian, Disdik tetap berperan dalam mendukung jalannya program, terutama karena mayoritas penerima manfaat berasal dari kalangan pelajar.
Mereka mengadakan pertemuan rutin dengan pelaksana lapangan, seperti Satuan Produksi Pangan Gizi (SPPG), untuk memastikan distribusi ke sekolah berjalan sesuai rencana.
“Tujuan kami hanya membantu agar pelaksanaan di sekolah-sekolah bisa lebih lancar. Namun secara struktural, tanggung jawab utama bukan di kami,” tambahnya.
Bambang juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengusulkan penambahan jumlah dapur pengolah MBG, yakni SPPG, karena jumlah penerima manfaat terus bertambah.
Namun, terjadi perbedaan data antara yang tercatat oleh Disdik dan Badan Gizi Nasional (BGN).
“Kami mencatat ada 11 SPPG yang aktif, tapi dari data BGN hanya 7 yang resmi. Ini yang sedang kami sinkronkan,” jelas Bambang.
Data BGN menunjukkan sebaran SPPG meliputi Tembalang, Semarang Barat, Banyumanik, Mijen, dan Ngaliyan.
Lebih lanjut, Bambang mengungkapkan bahwa satu SPPG rata-rata melayani sekitar 3.000 hingga 3.500 orang.
Jika jumlah tersebut melebihi kapasitas, maka diperlukan penambahan dapur baru agar distribusi tetap optimal.
Namun hingga kini, belum ada penunjukan resmi terkait siapa yang bertanggung jawab secara penuh terhadap pengelolaan SPPG di tingkat kota. Disdik sendiri belum membentuk struktur khusus untuk menangani hal tersebut.
Sementara itu, Pemerintah Kota Semarang telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp80 miliar melalui Dana Tak Terduga dalam APBD 2025 untuk mendukung program MBG ini.
Minimnya regulasi, lemahnya pengawasan, dan tumpang tindih wewenang menjadi sorotan dalam pelaksanaan program ini.
Kasus salak busuk hanya menjadi contoh dari permasalahan yang lebih besar yang perlu segera ditangani agar tujuan program benar-benar tercapai secara maksimal. (di)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.